Writer: Fityan
TVRINews — Ho Chi Minh City, Vietnam
Hadiah Puluhan Juta, Tantangan Ekstrem, hingga Status Selebriti, Inilah Kisah Para Pelari Ethiopia dan Kenya yang Menggebrak Vietnam!
Di tengah riuh hampir 18.000 pelari yang memadati Techcombank Ho Chi Minh City International Marathon, tubuh mungil Tesfaye Tsegaye Keress dari Ethiopia menyelinap lincah ke barisan terdepan. Tingginya hanya 1,62 meter dan beratnya 50 kg, namun tekadnya sekeras batu. Di balik senyum tipisnya, tersimpan mimpi besar: membawa pulang hadiah $2.500 (sekitar Rp40 juta) demi keluarganya di Sendafa, Oromia, Ethiopia.
Keress bukan datang sendiri. Ia ditemani rekan senegaranya, Dereje Alemu Miko, yang bersiap mengikuti nomor setengah maraton. Kedatangan mereka langsung menarik perhatian media lokal, mengingat sebagian besar peserta adalah pelari dalam negeri.
Namun kehadiran pelari asal Afrika Timur di Vietnam bukan sekadar soal cinta terhadap olahraga. Ada alasan ekonomi dan harapan besar yang turut mereka bawa. Di kampung halaman, Keress memiliki dua anak dan mengelola peternakan ayam serta sapi perah. “Kami ingin mengembangkan usaha kami dengan uang hasil maraton,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Meski tergolong pelari biasa di tanah kelahirannya dengan catatan waktu terbaik 2:23:50 di Vietnam, Keress adalah kandidat juara. Negara dengan 100 juta penduduk ini tengah dilanda demam maraton. Dalam satu tahun terakhir saja, lebih dari 264.000 orang ikut serta dalam 41 lomba maraton di 27 provinsi.
Fenomena ini tak lepas dari meningkatnya kelas menengah Vietnam yang mencari gaya hidup sehat, serta meroketnya popularitas lari setelah pandemi. Hadiah uang yang menggiurkan pun membuat Vietnam menjadi "tanah baru" bagi atlet elite dari Ethiopia dan Kenya.
Salah satu nama yang kini menjadi ikon adalah Edwin Kiptoo, pelari Kenya yang tiba di Vietnam hanya dengan bekal 150.000 dong (kurang dari Rp100.000). Ia sempat kesulitan mencari penginapan sebelum akhirnya ditolong oleh pelari lokal, Le Hoan, yang membawanya pulang dan memberinya tempat bermalam.
Keesokan harinya, Kiptoo mengalahkan dua pelari terbaik Vietnam dan memenangkan hadiah utama. Sejak itu, kariernya melejit. Ia kini meraih rata-rata $1.000 per minggu dari kejuaraan demi kejuaraan, dan telah menandatangani kontrak sponsor dengan perusahaan olahraga Do-Win Vietnam, yang juga membiayai visanya agar bisa tinggal dan bertanding secara profesional.
Namun, jalan menuju puncak tak selalu mulus. Kiptoo pernah hanya menerima hadiah $200 karena kesalahan teknis pendaftaran. Sementara pelari lain seperti Kemboi Ezekiel dan Marta Tinsae Birehan juga pernah dikecewakan oleh informasi hadiah yang tidak akurat hingga gangguan kesehatan akibat salah minum di tengah lomba.
Meski penuh risiko, bagi para pelari Afrika, Vietnam adalah harapan baru. “Dukungan dari masyarakat Vietnam membuat saya merasa seperti di rumah,” kata Kiptoo, yang kini dikenal luas oleh penggemar lokal dan rajin tampil di media sosial serta berita nasional.
Dari perjuangan demi keluarga hingga kesempatan menjadi bintang, lari di Vietnam bukan sekadar olahraga. ini adalah pertarungan hidup dan mimpi yang terus berlari ke garis akhir.
Baca Juga: Asnawi dan Ferarri Masuk Skuad ASEAN All-Star Hadapi Manchester United
Editor: Redaktur TVRINews
